Dokter Bertafakur: Ini Bukan Aksi Religius.

Sebelum membaca, perlu gua sampaikan, bahwa ini hanyalah sebatas opini pribadi gua, jadi besar kemungkinan bisa salah. So, buat yang udah pasang muka ngajak berantem di depan komputer/hape, please.. senyum dulu doong :*

Jadi gini.. hari ini ramai diberitakan bahwa para dokter sedang melakukan aksi yang mereka sebut mogok tafakur, alias berdiam diri di kediaman masing-masing dan meninggalkan ruang prakteknya, sebagai bentuk solidaritas terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawarni Sp OG dan dr Hendy Simanjuntak Sp OG yang akhirnya harus dipenjara selama 10 bulan karena didakwa melakukan malpraktik terhadap pasien Siska Makelty hingga meninggal dunia. Untuk lebih detailnya lo bisa googling lah, banyak kok.

Ada beberapa poin yang menurut gua cukup menarik untuk dibahas, baik dari segi hukum, medis dan komunikasi. Gua akan lebih menitikberatkan pada sudut pandang yang terakhir(komunikasi), karena kebetulan secara profesi, gua sebagai pekerja di digital media consultant, lebih banyak ‘dekat’ dengan hal ini ketimbang dari sisi hukum dan medis.

Satu hal yang gua percaya: Tidak ada dokter yang mau mencelakakan pasiennya. Ini sama halnya dengan premis.. Tidak ada supir yang ingin mencelakakan penumpangnya. Tapi apakah itu berarti tidak ada kecelakaan di jalan? jawabannya TIDAK. Karena pada kenyataannya ada banyak kasus kecelakaan yang memang disebabkan oleh kelalaian supirnya. Tapi kan ada juga yang karena musibah? Iya.. tapi ada juga yang karena kelalaian supirnya. Untuk itulah perlu institusi yang “menentukan” apakah si supir salah atau tidak? institusi tersebut adalah pengadilan. Dan di Indonesia, sistem peradilan itu bertingkat yang puncaknya ada di Mahkamah Agung.

Dalam kasus dr Ayu ini, keputusan bersalah baru dijatuhkan saat di pengadilan MA. Kok bisa berubah, dari yang tadinya ngga bersalah jadi bersalah? ya itulah fungsinya penyelidikan lebih lanjut di level yang lebih tinggi. Bisa aja di pengadilan pertama fakta-fakta yang ditemukan tidak selengkap saat penyelidikan di level MA. Contohnya kasus Angelina Sondakh yg setelah sampai MA, hukumannya ditambah jadi 12 Tahun dari yang awalnya hanya 4,6 Tahun, karena memang ditemukan fakta-fakta lain yang memberatkan Angie. Ibaratnya orang pacaran nih.. trus diputusin, bisa kali minta kesempatan kedua. Ok ini analogi yang salah, abaikan saja.

Yang jelas, keputusan MA memang berbau kontroversi. Kalangan dokter beranggapan ini musibah yang tidak bisa diprediksi, sedangkan fakta pengadilan MA menyatakan ada 3 hal yang membuat dr Ayu dianggap bersalah, yaitu:

  1. Tidak mempertimbangkan hasil rekam medis dari puskesmas yang merujuk Siska Makatey. Gua ngga mau komentarin ini, karena gua bukan dokter, jadi gua ngga tahu seberapa pentingnya hal ini sebelum melakukan penanganan pasien. Majelis Kehormatan Etik Kodekteran (MKEK) sih bilang kalau hal ini ngga bisa bikin orang meninggal, tapi menurut MA ini tetap diperlukan karena memang sudah selayaknya seorang dokter melihat dulu rekam medisnya, sebelum mengambil tindakan. Mungkin kaya misalnya.. lo mau service mobil, tapi ngga dicek dulu history kerusakan sebelumnya, tapi langsung.. ganti mesin. Padahal yang rusak spion. Again.. ini juga analogi yang lebay, abaikan saja.
  2. Sebelum menjalankan operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria(bukan nama band), ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap risiko dan kemungkinan yang bakal terjadi, termasuk risiko kematian. Bahkan ditemukan kalau tanda tangan Siska yang tertera dalam surat persetujuan pelaksanaan operasi berbeda dengan tanda tangan Siska pada kartu tanda penduduk (KTP) dan Kartu Askes-nya. Nah lho?? sapose dong yang tandatangan bok?!
  3. sebelum melakukan operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70. Pemeriksaan jantung baru dilakukan pasca operasi dilaksanakan. Lagi-lagi ini medis banget, gua ngga tahu seberapa penting itu, yang jelas.. MA menganggap ini sebuah kelalaian. MA juga menyatakan bahwa saat dr Ayu dkk melakukan operasi, ketiganya masih menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Sam Ratulangi Manado. Artinya, saat melakukan operasi itu, tiga dokter itu belum menjadi dokter spesialis kandungan, meski kini sudah.

Nah, dari dakwaan di atas, akhirnya memicu protes keras dari para dokter di tanah air, mereka menganggap dr Ayu diperlakukan tidak adil, which is menurut gua wajar aja sih mereka protes, karena menurut medis, emboli pada saat melahirkan ini adalah kasus langka dan sulit diprediksi, namun kebanyakan membuat sang ibu meninggal. Sementara MA berpatokan kepada pasal 359 KUHP yaitu ‘Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’. Kok pakai hukum pidana sih, emangnya teroris? ya karena kita memang belum punya standar pelayanan medis, yang bisa memberikan acuan standar jelas tentang mana yang malpraktik mana yang bukan, akhirnya pengadilan terpaksa menggunakan pasal KUHP. Gua rasa, secara hukum, celah inilah sebenarnya yang menimbulkan kontroversi. Tapi ini ranah hukum lah, sebagai model catwalk orang awam, gua ngga begitu ngerti. Sampai sini aja gua ngebahas dari sisi Hukum dan Medis, gua rasa kalian yang dokter dan praktisi hukum pasti jauh lebih paham soal ini.

Sekarang dari sisi komunikasi. Gua sempat ngetwit tentang dokter mogok, dan langsung disamber oleh milyaran beberapa dokter di twitter yang keberatan dengan istilah “Mogok”, mereka ngga mau menganggap ini “Mogok” tapi “Aksi Damai” [wajah palem di sini]. Sekarang gini, kalau lo sengaja ngga melakukan tugas kerja lo dengan maksud protes, itu apa namanya? Tafakur?? buat gua sih itu mogok kerja. Tafakur mah di masjid, ceu!! Kalau Taaruf di rumah kamu beb

Tapi kan ngga semua dokter, cuma dokter poli berbayar doang, UGD tetap buka kok!
Iya.. berarti yang mogok si dokter poli, tapi tetap mogok kan? kan gua ngga bilang “semua dokter”.

Yaelah, ini mah kaya dokter poli di hari minggu aja, anggep aja lagi libur.
Ya beda atuh, bedanya.. lo melakukan libur ini di hari Rabu. Lo mau, solat jumat di hari selasa?

Demo sehari ngga bakal ngaruh kok, pasien ga akan dirugikan.
Siapa bilang? coba baca berita tentang banyaknya pasien yang terlantar di banyak kota hari ini:
http://www.merdeka.com/peristiwa/dokter-di-medan-mogok-banyak-pasien-terlantar.html
http://id.berita.yahoo.com/dokter-mogok-pasien-di-banyuwangi-terlantar-032045418.html
http://jogja.tribunnews.com/2013/11/27/dokter-rs-tenriawaru-mogok-pasien-keguguran-terlantar

Aksi ini kan demi solidaritas!
Ngerti, cuma apa ngga ada cara lain selain mogok? kalo cuma untuk solidaritas kan bisa dengan ramai-ramai praktek pake baju hitam kek, bendera setengah tiang di RS kek, atau apalah gitu asal jangan mogok. Oke.. iya deh.. bukan mogok.. Tafakur.

Kenapa gua bersikeras untuk nyari cara lain selain demo? karena menurut gua logikanya aneh. Gini.. lo sebel sama MA, ga terima sama perlakuan dia ke dr Ayu, tapi lo “menghukumnya” dengan mogok praktek. Nah.. ngaruh ga buat MA? ya nggak. yang dapet imbasnya siapa? ya Pasien yang mau berobat. Yang tadinya berharap perhatian dan simpati masyarakat, malah dianggap ngga bertanggung jawab karena seenaknya nggak melayani pasien. Jadi sayang aja gitu, udah capek-capek.. eh messagenya ngga sampai juga, malah dapet persepsi negatif.

Dan yang lebih disayangkan lagi, dokter terpaksa harus menanggung persepsi publik yang menganggap dokter ini seolah-olah arogan. Kenapa arogan? karena demo mogok praktek itu secara psikologis memberikan kesan.. “liat nih, gua ngga praktek, panik kan lo? bayangin kalau semua dokter mogok!!“. Ada juga teriakan yang bilang.. “Tolak kriminalisasi dokter!!”, ya ngga bisa gitu dong, kan pada dasarnya, yang dikriminalisasi itu perbuatannya, bukan profesinya. Jadi apapun profesinya, siapapun dia, bisa saja dikriminalisasikan perbuatannya, kalau memang terbukti ada indikasi bersalah. Kalau ngga boleh mengkriminalisasikan dokter, nanti malah mengakibatkan timbulnya semacam pengkultusan profesi di sini, karena memang harus diakui ‘power’ dokter di tengah masyarakat itu besar sekali. Jadi timbul kesan, seolah-olah.. “Gua nih dokter, masa gua yang salah?“.

Kesimpulannya.. buat gua, silahkan para dokter membela rekan sejawatnya, perjuangkanlah hal yang kalian anggap keadilan, ini negara demokrasi kok. Lagipula hakim juga manusia, bisa salah ambil kebijakan. Namun yang perlu diingat, lebih pintarlah memilih cara untuk mencapai tujuan tersebut, supaya yang tadinya berharap A eh malah yang didapat malah B, kan sayang, jadi sia-sia. Semoga segera ada standar pelayanan medis di Indonesia, sehingga penegak hukum jauh lebih jelas dalam mengambil keputusan, untuk menentukan mana yang Malpraktik mana yang Mal kelapa gading resiko.

 

96 thoughts on “Dokter Bertafakur: Ini Bukan Aksi Religius.

    1. Bronx

      Heran sm oknum dokter2 itu, katanya “dokterjugamanusia” tp pengennya diperlakukan ky tuhan dan malaikat, ga pernah salah/lalai dan maha tahu segalanya, ckckckck

      Like

      Reply
    2. donna

      Ini baru comment yg cerdas..
      Sepaham..
      Comment gua juga begitu.
      Apalagi yg mau di protes Seorang Hakim Agung seperti Pak Artijo..mending loe pada belajar hukum dulu deh sama Pak Artijo, baru cuap-cuap..
      Kirain kalau dokter Demo, lebih baik dari pada Demo Buruh..ternyata…ehemmm..

      Like

      Reply
  1. gadis manis mungil dan lucu

    Nyindirnya mantap Bang!! Ga cuma kamu, semua yang bikin statement menyayangkan aksi dokter, pasti kena semprot para dokter… Ealah…

    Like

    Reply
  2. mahasiswamepet

    Bener juga sih apa yg coba lo sampein disini, kalo udah sampe merugikan masyarakat sakit yg notabene gak tau apa2 juga kayak nerima perbuatan gak adil dari ibu tiri tapi balesnya ke ibukota (karena ibukota lebih kejam dari ibu tiri, gitu katanya)
    Yg jelas pandangan masyarakat awam ke para dokter bisa mendadak dangdut negatif
    Btw, gue udah follow lo di twitter bang #abaikan

    Like

    Reply
  3. cputriarty

    Kereeen euy mas Acho, ngakak full deh baca artikelnya. Bukan sebuah sindiran namun kenyataan yang ironis banget. Inilah gambaran negeri kita yang tumpang tindih antara persepsi kebenaran dengan fakta lapangan.

    Like

    Reply
    1. Acho Post author

      Tapi gua yakin, banyak juga dokter yang tulus kok. Biar bagaimanapun kita butuh mereka. ya.. yang brengsek mata duitan juga ada sih.

      Like

      Reply
  4. Rosanna Simanjuntak

    Kog idenya hampir sama sama gue ya #ngeles,, hi hi hi
    Tapi setuju,, pesan yang di sampaikan benar-benar “jauh panggang dari api”
    Ingin menarik simpatik, malah memperoleh kritik
    Justru malah arogansi yang jelas terlihat, ketimbang solidaritas yang ingin di angkat.
    Duhai,, dokterku sayang dokterku malang,,

    Like

    Reply
  5. Charisma

    Ih keren nih setuju, apa yg gw pikirin d adi kemarin eh tertuliskan juga. Hhe. Setuju bgt dgn pikiran “nih gw dokter nih, gw mogok, kelimpungan kan lo” dan juga malah jadi dapet stigma negatif ke masyarakat. Sayang sekali sebenernya

    Like

    Reply
  6. liza

    tapi di kampung gua tafakurnya di Mesjid kok. Mesjid yg ada di rs. dari jam 8 sampai jam 10. setelah itu akivitas kaya biasa lagi. ga ada tuh pasien yg protes. paling yang ga melihat secara langsung aja yg suudzon bilang ini itu. tapi berita2 yg ada dikoran dll, ga ada tuh dokter.yg menelantarkan pasien. mungkin di kampung lo kali ya mas. peace

    Like

    Reply
    1. didibeachbum

      Baca tu di ada di Sumba pasien yg sampe lahiran di toilet karena dokternya lg mogok. Daerah terpencil dokter cuman 1 tp lebih mentingin mogok drpd melayani masyarakat desa setempat. So sad.

      Like

      Reply
  7. Uniek Kaswarganti

    setuju Bang, yg gini ini justru mencoreng profesi dokter secara keseluruhan, padahal masih banyak dokter lainnya yg gak ikutan mogok tapi kena cap jelek juga. Saya baca sambil mengerutkan dahi sembari terkikik-kikik nih, sersan euy tulisannya, siiippp…

    Like

    Reply
  8. Esti

    Mm.. mungkin karena di negeri yg konon katanya beradab ini, demo adalah cara paling efektif buat bikin orang ‘nengok’? Kalo ga demo, berapa banyak yg bakal ngeh soal gerakan anti-kriminalisasi dokter? Atau berapa banyak yg bakal baca kisah soal 3 dokter di Manado itu?

    Plus, ini kayak semacam eskalasi yg udah diterima org2 yg berprofesi di bidang kesehatan selama ini. Anggaran kurang, standar ga ada, Menkes suka ngomong asal. Jd pas ada momen kayak kemaren, pada meledak deh tu dokter dan teman2nya.

    Sisanya gw setuju, Cho! Btw, nice loh.. ga mau jd buzzer politik? :))

    Like

    Reply
    1. Acho Post author

      Demo memang paling bikin ‘nengok’, tapi kalau paling efektif, menurut gua sih belum tentu, objektifnya apa dulu? kalau kaya kasus reformasi, itu pas, memang harus demo, karena secara urgensinya sudah sampai level itu. Tapi ini kan objektifnya adalah biar orang aware dan simpatik untuk sebuah isu yg lingkupnya profesi, ya secara komunikasi, menurut gua.. demo bukanlah cara yang paling efektif untuk tujuan ini.

      Buzzer politik? ogah. :)))

      Like

      Reply
  9. Arif

    kelakuan dokter kemaren agak mirip dengan kelakuan demo mahasiswa /buruh yang bikin macet jalan. Tuntutannya kemana.. yang dirugikan karena demo siapa… mantab bang..

    Like

    Reply
  10. putri mimpi

    iya, dokter2 kita kebanyakan memang kurang communication skill, jadinya bikin para pasien (atau keluarganya, dll) jadi cenderung curigaan walopun sang dokter mungkin sudah ambil tindakan yg benar.
    btw, salam kenal ya, tulisannya bagus banget ^^

    Like

    Reply
  11. santy

    sebenarnya sebelum “aksi mogok” sudah ada beberapa aksi sebelumnya.tapi dari kementrian dan rumah sakit terkait tidak ada tanggapan.makanya mogok adalah jalan terakhir. yang menjadi “fokus” aksi tersebut adalah :
    1. pasien terlambat ditangani adalah karena administrasi rumah sakut yang ribet.yang mengharuskan obat2an dibeli dulu baru pasien ditangani
    2. dokter penanggung jawab ke3 dokter tersebut bebas
    3. saat saya membaca kronologi penanganannya, saat pasien dibawa dari puskesmas, pasien masih ingin melahirkan secara normal.saat persalinan dipimpin oleh dokter ayu tampak mekoneum (pupnya bayi). adanya mekoneum di jalan lahir adalah tanda gawat yang menhharuskan bayi segera dikeluarkan dalam hitungan menit.karena membahayakan ibu ( emboli air ketuban) dan bayi ( fetal distress). pada kode etik kedokteran juga sudah disebutjan bahwa dokter berhak melakukan tindakan kegawatan tanpa harus menunggu persetujuan keluarga bila mengancam nyawa.
    tapi masalah tanda tangan palsu juga kayaknya tanggung jawab afministrasi rs bukan dokternya

    Like

    Reply
  12. rita

    Wuih setuju sangat,..lagian dokter2 skrg cuek bgt ama pasien,trutama yg tugas di puskesmas ato rsud,udah deh pasien dianggap remeh apalagi yg miskin,klo bnyk nanya suka dicuekin,jawaban sekena dia aja,..beda ama dokter rs mahalll,mereka lebih ramah *biasa duit emang beda
    But anyway busway tulisannya keren benget lhooo *sayah suka sekali bacanya

    Like

    Reply
    1. Nadya

      Wah, ini saya kurang setuju. Mau rumah sakit mahal atau rumah sakit murah, masalah ramah tamah kembali ke pribadi dokternya masing-masing. 🙂

      Like

      Reply
  13. khusnul

    and unfortunately im a doctor 😀
    emank bener kok bang yg ditulis di atas. semoga jadi introspeksi diri buat kami para dokter,agar lebih berhati2, dan belajaaaaaaaarrrrr terus (ga boleh capek) dan kadang sampai meninggalkan tugas di dalam keluarga kami (terpakssaaaa). dan yg perlu diperhatikan lagi adalah sistem pelayanan kesehatan di indonesia bang,,timbal balik antara dokter, pasien, dan pemerintah. maksudnya kan ga semua dokter gajinya gede, gaji dokter di daerah2 masih ada yg ga cukup buat hidup sebulan padahal risikonya boookk.. dan yg pasti Gusti Allah mboten sare 🙂 kalau di dunia ga ada hukum yg sempurna, akan ada hukuman yg kekal nantinya 🙂

    Like

    Reply
    1. Acho Post author

      I really appreciate your job and your concern, Doc. Makanya sangat disayangkan kalau cara komunikasinya lewat demo, menjadi kurang tepat sasaran aja.

      Like

      Reply
    2. rafky

      masih beribu org dgngaji kecil resiko tinggi …jd gak cm dokter aja koq…bener gak :)…kalo resiko dipanggil 24 jam jg gak cm dokter… profesi saya juga begitu…jd gak perlulah merasa profesi satu lebh sulit dr yg lain atau lbh gak enak..trus jd pembenaran buat minta kebal hukum..

      Like

      Reply
  14. Ades

    Haha.. lucuuuuuuk. Ngakak bacanya, bisa menyampaikan dg gaya informal yang khas, tetep cerdas telak kena target sasaran. Saya nulis hampir serupa kemarin, tapi blum ada yg merespon.. mungkin lantaran bahasanya ciyus abis. :p

    Salam kenal buat model catwalk, ya! 🙂

    Like

    Reply
  15. Alonkii

    *tepuk tangan* Setuju berat. Ini nih baru bener, dr kemaren baru baca yang negatif2 aja, ini baru bener2 objektif dan ngena.

    Terima kasih kak Acho atas postingannya, seneng deh ada yang mikir dr sudut lain dan nggak menyudutkan :))

    *salam*

    Like

    Reply
  16. Arthur Parapat

    Not sure of I agree 100 pct…but hey..its ur opinion and sah sah aje…in my view…doctor is a profession…and they are also human…they can make mistake and yes they can also do strikes

    Like

    Reply
  17. Diah

    Sepakat, euy! Biar gimanapun dokter teteaplah profesi (yang mulia)
    dan setiap profesi pasti ada resiko dan tanggung jawab.
    Semoga jika ada Undang2 atau pasal yang mengatur kebijakan medis,
    menjadikan dokter lebih berhati2 mengambil keputusan.
    Gluck dokter & calon dokter!
    btw, thanks bang acho, opini-nya keren!

    Salam^^

    Like

    Reply
  18. sha

    And unfortunately i’m a doctor too.
    Mau tau insight sy sbagai dokter? *ga mau pun tetep sy tulis sih :p*
    Pointnya benar, tepat, dan mengena.
    Yes, banyak masyarakat dan org diluar dunia profesi kami yang nyinyir dan mungkin memang benar cara kami yg kurag tepat dan malah merugikan segelintir pasien (kenapa saya bilang segelintir? Krn sy kmrn masih jaga IGD di RS saya mas, dan beneran kami kebanjiran pasien poli yg dialihkan ke IGD loh *curcol*)

    Tapi pernah gak mas Acho ngerasa menghadapi suatu masalah, mentok, dan gak merasa didukung siapapun?

    Ini yg kami tidak ingin dokter Ayu rasakan.
    Aksi solidaritas kami terhadap dokter Ayu mas. Yang menurut sumpah kami, harus kami perlakukan sebagaimana kami ingin diperlakukan.
    Terdengar egois dan dan sangat chauvinisme profesi memang, tp kami disumpah dibawah kitab suci kami untuk membela dan mendukung beliau. Apa salah kami menjalankan sumpah kami?

    Mendukung kan ga harus seperti itu caranya?

    Benar mas. Sebelumnya akhirnya PB IDI menyerukan tafakur, POGI (persatuan dokter obgyn) sudah terlebih dahulu mogok loh mas. Tangal 18-20 november kemarin. Mas Acho tau ga? Gak kan? Ga dilirik media sama sekali kan? Kenapa? Karena POGI cuma sekian kecil persen dr seluruh dokter di Indonesia. Ngefek gak mereka mogok? Enggak kan?

    Jadi kalo opini saya pribadi, yg mungkin terdengar egois, saya terharu mas. Terharu sekali melihat professor, guru besar, dokter-dokter spesialis yang titelnya sudah lebih panjang dari namanya, mau ikut panas-panasan, ikut turun. Ikut mempertanggung jawabkan sumpahnya untuk sejawatnya.
    Aksi solidaritas kami untuk dr Ayu mas. Lihat bagaimana wajah dr Ayu saat tahu didukung ribuan saudaranya di seluruh penjuru Indonesia?
    Itu yang kami harapkan mas. Kami harapkan dr Ayu gak sendiri. Ada kami saudara sejawatnya yang siap mendukung dan menjalankan sumpah kami untuk memperlakukan dr Ayu sebagaimana kami ingin diperlakukan. Didukung dan dibela oleh saudaranya sendiri saat disudutkan dari berbagai macam pihak.
    Kami mohom maaf jika pembelaan dan bentuk dukungan kami terhadap saudara sejawat kami merugikan mas Acho atau masyarakat yang lain. Karena tidak sedikitpun kami ingin menyakiti dan melukai siapapun.

    Dan btw, kalo kami gak benar-benar yakin kalo dokter Ayu tidak bersalah, apa mungkin kami berkorban segininya? Sebelumnya banyak kasus dokter yang ternyata memang bersalah (seperti terbukti mengaborsi dll.) Tidak pernah kami bela kan? 😉
    Terimakasih.

    Like

    Reply
    1. Acho Post author

      Hehe,jangan langsung bilang saya nggak tahu dong. Saya tiap hari baca berita kok 🙂 Saya tahu kok soal demo POGI yg tgl 18, kan masuk detik.com juga. Nah, harusnya belajar juga dari demo awal POGI, mestinya nggak perlu ada demo lagi kan? karena terbukti memang ngga ngaruh dan cenderung jadi bumerang. Don’t get me wrong, Saya sangat mendukung sikap dokter yang membela rekannya yg mengalami ketidakadilan, hanya saja.. karena ini masalah hukum, seharusnya dilakukan tekanan-tekanan yang mengarah ke proses hukum juga. Itu aja sih poinnya. Thanks for reading ya. Selamat bekerja para dokter, I love you full 🙂

      Like

      Reply
    2. ibam

      Halo Pak (Bu?) dokter, saya cuma ingin komen bagian yang terakhir:

      Dan btw, kalo kami gak benar-benar yakin kalo dokter Ayu tidak bersalah, apa mungkin kami berkorban segininya? Sebelumnya banyak kasus dokter yang ternyata memang bersalah (seperti terbukti mengaborsi dll.) Tidak pernah kami bela kan? 😉

      Sayangnya, bahkan untuk dokter2 yang sudah dinyatakan bersalah malpraktek oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sekalipun, hukuman yang diberikan majelis kehormatan sangat ringan. Dari 182 kasus yang MKDKI nyatakan terbukti malpraktek antara 2006 sampai 2012, hanya 29 dokter yang diberi hukuman, itupun hanya dalam bentuk pencabutan izin selama 3-6 bulan. Di luar itu, enam dokter menjalani “hukuman lebih berat” dalam bentuk diharuskan untuk mengenyam pendidikan ulang.

      Apakah hukuman tersebut adil? Menurut saya ini bukti yang jelas kalau majelis kehormatan dokter sendiri banyak yang menutupi kesalahan dokter atau memberikan sanksi yang sangat ringan sampai2 bisa dianggap cuma lelucon belaka. Ini kenapa yang mengadili dokter harus pihak kehakiman, karena dokter sendiri ngga bisa menghukum rekan sesama dokter dengan adil.

      Sumber

      Like

      Reply
    1. Acho Post author

      Saya rasa ngga perlu sampai devensive medicine lah, perbaikan sistem aja dan kewaspadaan ditingkatkan. Dokter dan pasien saling kerjasama dan komunikasi. Akur.

      Like

      Reply
      1. asdewi

        Iya. Cara ningkatin kewaspadaannya itu gimana? Seperti skenario yg diajarin bos saya?
        Ngotot minta tanda tangan persetujuan tindakan dari keluarga walo pasien sudah megap2?
        Pasal 359 itu emang kontroversi ya :))

        Like

      2. Acho Post author

        Kl soal penjelasan obat sih memang perlu ya, ngga ada salahnya jelasin ke pasien secara detail, kan? Makanya saya bilang, hal-hal seperti inilah yang harusnya jadi pekerjaan rumah kita bersama, perlu dibuat standard pelayanan medis yang jelas, jadi antara dokter dan pasien punya acuan untuk menetukan, apakah tindakan yang dilakukan, prosedurnya sudah benar atau tidak.

        Like

      3. dokterindo

        Kewaspadaan itu yg gmn bisa dijelasin bang dgn contohnya? Krn menurut saya sbg dokter, defensive medicine adlah cara kami waspada trhdp tuduhan malpraktik, yaitu dgn menjelaskan secara lbh detail segala kemungkinan.
        Perbaikan sistem itu misalnya yg gmn bang? Siapa tau bisa jd pertimbangan kami.
        Btw, keren tulisannya gak bikin panas..

        Like

      4. Acho Post author

        Mungkin salah satunya, perlu dibuat standard pelayanan medis yang jelas, jadi antara dokter dan pasien punya acuan untuk menetukan, apakah tindakan yang dilakukan, prosedurnya sudah benar atau tidak. Jadi kewaspadaannya lebih ke apakah standard pelayan medisnya sudah terpenuhi atau belum. Saat ini kan dokter bisa kekeuh sudah sesuai SOP, sementara SOP RS yg satu dengan yg lainnya bisa beda, jadi ada celah. Hakim pun jadi ngga punya acuan yg baku, akhirnya pakai pasal 359 KUHP. Lagipula balik lagi, fokus saya di tulisan ini adalah lebih ke cara komunikasi demo yg kurang tepat. Itu saja.

        Like

  19. Mega

    mantab ni gan tulisannya. Saya sebagai orang medis juga setuju. walaupun hati kecil saya mengangap dokter ayu tidak bisa disalahkan begitu saja. tapi setelah baca tulisan agan. saya ngangguk-ngangguk. aksi solidaritas memang ngk seharusnya membuat banyak pasien telantar. apapun alasannya. dan akhirnya pesan yang harusnya sampai jadi salah presepsi.

    Like

    Reply
  20. asdewi

    Lanjut soal defensive medicine, bang. Ini yg tadi dibilang bos saya (dengan nada antara becanda dan serius, khas beliau kalo ngobrol).

    Bos : “Wi, mulai sekarang kalo loe tulis resep, loe jelasin semua tuh dari cara kerja obat ampe risikonya. Biar obat kayak paracetamol sekalipun.
    Trus loe kasi tau kalo reaksi alergi tuh ada 4 tipe. Ada yg langsung muncul, ada yg belakangan. Jadi kalo dulu2 dia gapapa minum paracetamol, belum tentu besok2 tetap aman.
    Kasi tahu juga alergi obat itu ada yg “cuma” gatal2, drug eruption, ampe ke sindrom steven johnson dan syok anafilaktik. Jangan lupa tegasin kalo syok anafilaktik itu bs ampe meninggal. Kalo pasien udah ngerti dan setuju pake obat itu, baru loe kasi. Nah itu baru 1 obat, kalo loe kasi 3 obat, loe jelasin lah tiga2nya”

    Gak enak banget ya kalo ampe begitu suasananya. Sy sih gak pengen ampe begitu, bang. Karena sy gak pengen dicap nakut2in pasien (padahal bicara jujur). Nah sbg orang komunikasi, menurut bang acho hal kyk gini bagusnya dikomunikasikan seperti apa ya? kejujuran dan keterbukaan sejauh apa sih yang diharapkan masyarakat dari dokternya?

    Like

    Reply
    1. Endy Muhardin

      Kenapa gak enak ya Wi kalo dijelasin gitu?

      Gw juga rada heran sama dokter yang males ngejelasin tentang suatu benda asing yang dia suruh orang lain telan beberapa kali sehari selama beberapa hari. Apakah yang ada di pikiran dokter:

      1. Ah, elu gak bakalan ngerti dah gw jelasin juga. Butuh bertahun2 sekolah biar ngerti.
      2. Ah, ngabisin waktu gw aja. Tuh pasien berikut udah nunggu.
      3. Nanti pada takut lagi jadi gak mau berobat.
      4. Gak penting lah lo tau apa isi obatnya
      5. Kan gw praktek di kampung, gak pada ngerti tuh pasiennya
      6. Silahkan ditambahkan kalo ada alasan lain.

      Tanggapan gw atas asumsi gw sendiri di atas:

      1. Gw (dan mayoritas yang baca blog ini) gak segaptek itu juga kali. Kita2 pastinya pernah nonton Dr. House, punya akses terhadap internet, ngerti caranya google, dan beberapa pasti ada yang sering cari tau khasiat obat di medicastore. Bukannya sotoy, tapi ya gak 100% naif juga lah. Temen gw pernah nulis kelakuannya kalo nonton Dr. House. Setiap terucap istilah medis, TV dipause dulu, google istilah di smartphone, abis udah tau baru TVnya diresume lagi.

      2. Yah, paling berapa lama sih jelasin 4 obat. Itu aja paracetamol satu paling lama 5 menit. 4 obat 20 menit. Masa sih 20 menit per pasien terlalu lama? Gw gak sekali dua kali ketemu dokter yang abis periksa, nulis resep, trus tatapannya seolah berkata, “Trus ngapain lo masih di depan gw?”

      3. Tergantung cara penyampaiannya juga kali. Pengalaman gw ngobrol sama temen2, dokter2 yang direkomendasikan dari mulut ke mulut biasanya komunikatif, mau menjelaskan ke pasien, dan gak bersikap seolah2 dia ada janji meeting sama Tony Abbot 5 menit lagi. Jadi pintar komunikasi sebenarnya berdampak positif terhadap cashflow dokter juga.

      4. Hello, itu barang harus gw makan beberapa kali sehari selama beberapa minggu. Kalo itu bikin muka merah padahal besok gw ada sesi pemotretan, ya sebaiknya gw tau. Apalagi kalo dalam ‘kondisi tertentu’ bisa fatal. Gak mungkin kan dalam beberapa menit gw cerita semua ‘kondisi khusus’ gw (lihat poin 2). Lagian nanti dikira curcol 😉 Jadi ya you better tell me. Tambahan lagi, jaman sekarang banyak orang sadar kesehatan. Kalo belanja di supermarket, tiap barang dilihat ada kandungan pengawet gak, ada pewarna, kadar lemak, dsb. Jadi sudah sewajarnya kalo lo suruh gw makan sesuatu, ya lo jelaskanlah kandungan, khasiat, dan efek sampingnya.

      5. Sekali lagi, masalah pemilihan bahasa dan istilah aja. Jangan lo bilang anafilaksis lah. Bilangnya reaksi alergi berat yang bisa fatal, contohnya pembuluh darah mampet, saluran pernapasan tertutup, dsb. Kalo susah jelasin sindrom steven johnson, tunjukin aja gambarnya.

      Panjang lebar, poin gw cuma satu. Penjelasan pada pasien itu wajib, makanya ada consent letter. Mau orangnya terima/ngga, ngerti/ngga, takut/ngga, itu urusan berikutnya. Kalo ada dokter yang males jelasin itu, either dia menganggap gw gak cukup cerdas untuk mengerti (insulting my intelligence), or dia menganggap waktunya lebih berharga daripada waktu gw, atau simply tidak cukup kompeten untuk bisa menjelaskan suatu masalah.

      Like

      Reply
      1. Upz

        hohoho…..couldn’t agree more
        jika dihitung jumlah dokter yang pernah saya temui dalam hidup saya,,, yang baik hatinya, ramah senyumnya, ringan hati menolong JAUH LEBIH SEDIKIT dari yg cuek-sombong-sok sibuk-pelit menjelaskan dan HANYA semangat ketika menulis resep / mengucap “WASSALAM”

        Like

    2. Ita

      Kalau defensive medicine yg dimaksud seperti ini, saya sebagai pasien atau keluarga pasien akan senang sekali, kalau bisa dapat penjelasan detail obat2an termasuk efek sampingnya.. Tapi apa yakin dokter2 akan mau meluangkan waktunya untuk menjelaskannya ke pasien? Dari dokter2 yang pernah saya datangi, hanya satu dua saja yang bersikap komunikatif tentang penyakit dan pengobatan yang akan saya jalani. Sementara tentang efek samping obat, tidak pernah sama sekali. Kebanyakan sedikit sekali berbicara, saya sebagai pasien, hanya bisa bersikap pasrah. Baru masuk ke ruangan, dudukpun belum, sudah ditanya keluhannya apa. Coba bertanya lebih lanjut, dijawab dengan kalimat pendek2 dengan mimik muka, intonasi dan bahasa tubuh keliatan tidak sabar.
      Semoga Dokter Dewi bukan termasuk dokter yang irit berkomunikasi dengan pasien2nya ya, Dok. 🙂

      Like

      Reply
      1. asdewi

        Makasi atas komen2nya.
        Insya للّهُ saya bukan dokter yg pelit ngobrol :)).

        Saya sih malah selalu wanti2 ke semua pasien kalo minum obat itu ada kemungkinan alergi (cuma ya saya gak bahas sedetil itu sampe bawa2 reaksi alergi 4 tipe). Karena saya gak mau dong besok2 pasien balik dan nuduh saya salah kasih obat. Amit-amit 🙂

        @mas endi : kalo di kota sih emang iya. Udah banyak yg nonton House. Udah byk yg bisa browsing di medicastore. Ya itu kan anda dan rekan2 anda. Tapi sy pernah (dan berencana untuk kembali) bertugas di Pulau Kur, Tual. Di sana, mas, jangankan nonton House, dapat listrik aja udah bersyukur. Jangankan mo browsing medicastore, dapat sinyal aja udah alhamdulillah.

        Concern saya malah ke orang2 yg seperti ini, mas. Gimana caranya ngasi info tanpa mereka merasa ditakut-takuti. Ya tentu saja balik ke teknik komunikasi. Sesuatu yang masih dan selalu akan saya tingkatkan
        (Ps : oh iya…sy gak pernah sebut anafilaktik dpn pasien kok. Kenapa sy sebut di sini krn saya yakin mas Acho dan pembaca blognya bisa googling sendiri)

        Nah sekarang sy mo tanya lagi nih pendapat pembaca2 blog ini : kalo utk suasana santai kayak gitu sih gapapa ya kita diskusi bahas semua efek samping obat.
        Tapi gimana utk pasien yg kasusnya emergensi? Utk pasien sesak ato eklampsi misalnya? (Eklampsi itu kejang dalam kehamilan).
        Apa perlu saya jelasin dulu kalo pasien

        Like

    3. gita pasich

      Gue hidup di kanada dan dapet kok kie itu dr pharmacistnya…. Proteksi pd pasien sgt tinggi. Itu bedanya dg Negri tercinta di timur jauh…

      Like

      Reply
  21. Muti

    Nah ini persis banget yg saya omongin dari kemarin tp para dokter atau keluarga dokter ga terima. Pengadilan itu utk cek ada kelalaian yg akibatnya merugikan org lain apa nggak. Utk masalah ini harusnya perlakuan ke semua orang sama terlepas apa profesinya. Kalo ga setuju sama keputusan pengadilan, ya lawan dgn tindakan hukum, jangan mogok. Tp ada yg komen buruh jg mogok karena selama ini udah berbagai cara ga diperhatikan, jadi dokter mau kayak buruh jg.

    Gara2 mogok ini jg saya jadi cek sumpah dokter itu sebenernya isinya apa. Saya takjub karena ternyata sumpah dokter diawali dgn sumpah utk menjaga sejawatnya. “To treat them as your parents”. Baru diikuti dgn sumpah mengenai perlakuan kepada pasien.

    Saya jadi mikir jgn2 skala prioritas dokter memang begitu, rekan dulu baru pasien. Kalo interpretasi saya benar ya sebenarnya ga perlu heran kalo mereka bela-belain mogok demi sejawat.

    Like

    Reply
      1. sat

        Sumpah Dokter Indonesia yang anda link berdasar dari Declaration of Geneva. Yang menarik, kalimat “My colleagues will be my sisters and brothers” diubah menjadi “Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan”.

        Ini perubahan yang krusial lho, menurut saya. Yang tadinya niatnya adalah agar dokter2 saling kerjasama satu sama lain, dokter2 Indonesia jadi terpateri untuk saling melindungi satu sama lain, meskipun orang lain tersebut sebenarnya salah juga, karena mereka ingin jika mereka dalam posisi salah seperti itu, dokter2 lain ikut melindungi mereka juga. (Kok jadi kaya lingkar mafia ya, hehe)

        Like

  22. orangaring

    Dokter bukan alergi kritikan, tapi masyarakat juga jgn sampai memvonis membabi buta, menggeneralisir dan medramatisir kasus ini.. jgn sampai sentimen pribadi kita yg berdasar akumulasi kekecewaan terhadap perilaku dokter di masa lalu menjadi dasar dalam melihat masalah ini..

    Kita harus fokus hanya pada masalah yg ini saja.. yaitu ada dokter yg divonis bersalah sementara ia dan teman2nya telah menjalankan penanganan sesuai SOP.. itu saja.. kacamata hukum dengan kacamata medis memang untuk kasus ini belum bisa disatukan.. jadi jgn cuma melihat dari satu sisi saja…

    PS: sy bukan dokter, cuma seorang pemerhati dokter.. 😀

    Like

    Reply

Leave a reply to Toskah Cancel reply