Dokter Bertafakur: Ini Bukan Aksi Religius.

Sebelum membaca, perlu gua sampaikan, bahwa ini hanyalah sebatas opini pribadi gua, jadi besar kemungkinan bisa salah. So, buat yang udah pasang muka ngajak berantem di depan komputer/hape, please.. senyum dulu doong :*

Jadi gini.. hari ini ramai diberitakan bahwa para dokter sedang melakukan aksi yang mereka sebut mogok tafakur, alias berdiam diri di kediaman masing-masing dan meninggalkan ruang prakteknya, sebagai bentuk solidaritas terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawarni Sp OG dan dr Hendy Simanjuntak Sp OG yang akhirnya harus dipenjara selama 10 bulan karena didakwa melakukan malpraktik terhadap pasien Siska Makelty hingga meninggal dunia. Untuk lebih detailnya lo bisa googling lah, banyak kok.

Ada beberapa poin yang menurut gua cukup menarik untuk dibahas, baik dari segi hukum, medis dan komunikasi. Gua akan lebih menitikberatkan pada sudut pandang yang terakhir(komunikasi), karena kebetulan secara profesi, gua sebagai pekerja di digital media consultant, lebih banyak ‘dekat’ dengan hal ini ketimbang dari sisi hukum dan medis.

Satu hal yang gua percaya: Tidak ada dokter yang mau mencelakakan pasiennya. Ini sama halnya dengan premis.. Tidak ada supir yang ingin mencelakakan penumpangnya. Tapi apakah itu berarti tidak ada kecelakaan di jalan? jawabannya TIDAK. Karena pada kenyataannya ada banyak kasus kecelakaan yang memang disebabkan oleh kelalaian supirnya. Tapi kan ada juga yang karena musibah? Iya.. tapi ada juga yang karena kelalaian supirnya. Untuk itulah perlu institusi yang “menentukan” apakah si supir salah atau tidak? institusi tersebut adalah pengadilan. Dan di Indonesia, sistem peradilan itu bertingkat yang puncaknya ada di Mahkamah Agung.

Dalam kasus dr Ayu ini, keputusan bersalah baru dijatuhkan saat di pengadilan MA. Kok bisa berubah, dari yang tadinya ngga bersalah jadi bersalah? ya itulah fungsinya penyelidikan lebih lanjut di level yang lebih tinggi. Bisa aja di pengadilan pertama fakta-fakta yang ditemukan tidak selengkap saat penyelidikan di level MA. Contohnya kasus Angelina Sondakh yg setelah sampai MA, hukumannya ditambah jadi 12 Tahun dari yang awalnya hanya 4,6 Tahun, karena memang ditemukan fakta-fakta lain yang memberatkan Angie. Ibaratnya orang pacaran nih.. trus diputusin, bisa kali minta kesempatan kedua. Ok ini analogi yang salah, abaikan saja.

Yang jelas, keputusan MA memang berbau kontroversi. Kalangan dokter beranggapan ini musibah yang tidak bisa diprediksi, sedangkan fakta pengadilan MA menyatakan ada 3 hal yang membuat dr Ayu dianggap bersalah, yaitu:

  1. Tidak mempertimbangkan hasil rekam medis dari puskesmas yang merujuk Siska Makatey. Gua ngga mau komentarin ini, karena gua bukan dokter, jadi gua ngga tahu seberapa pentingnya hal ini sebelum melakukan penanganan pasien. Majelis Kehormatan Etik Kodekteran (MKEK) sih bilang kalau hal ini ngga bisa bikin orang meninggal, tapi menurut MA ini tetap diperlukan karena memang sudah selayaknya seorang dokter melihat dulu rekam medisnya, sebelum mengambil tindakan. Mungkin kaya misalnya.. lo mau service mobil, tapi ngga dicek dulu history kerusakan sebelumnya, tapi langsung.. ganti mesin. Padahal yang rusak spion. Again.. ini juga analogi yang lebay, abaikan saja.
  2. Sebelum menjalankan operasi darurat kelahiran atau cito secsio sesaria(bukan nama band), ketiga dokter itu tidak pernah menyampaikan kepada keluarga pasien setiap risiko dan kemungkinan yang bakal terjadi, termasuk risiko kematian. Bahkan ditemukan kalau tanda tangan Siska yang tertera dalam surat persetujuan pelaksanaan operasi berbeda dengan tanda tangan Siska pada kartu tanda penduduk (KTP) dan Kartu Askes-nya. Nah lho?? sapose dong yang tandatangan bok?!
  3. sebelum melakukan operasi, dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung dan foto rontgen dada. Padahal, sebelum dibius, tekanan darah Siska tergolong tinggi, yaitu mencapai 160/70. Pemeriksaan jantung baru dilakukan pasca operasi dilaksanakan. Lagi-lagi ini medis banget, gua ngga tahu seberapa penting itu, yang jelas.. MA menganggap ini sebuah kelalaian. MA juga menyatakan bahwa saat dr Ayu dkk melakukan operasi, ketiganya masih menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Sam Ratulangi Manado. Artinya, saat melakukan operasi itu, tiga dokter itu belum menjadi dokter spesialis kandungan, meski kini sudah.

Nah, dari dakwaan di atas, akhirnya memicu protes keras dari para dokter di tanah air, mereka menganggap dr Ayu diperlakukan tidak adil, which is menurut gua wajar aja sih mereka protes, karena menurut medis, emboli pada saat melahirkan ini adalah kasus langka dan sulit diprediksi, namun kebanyakan membuat sang ibu meninggal. Sementara MA berpatokan kepada pasal 359 KUHP yaitu ‘Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’. Kok pakai hukum pidana sih, emangnya teroris? ya karena kita memang belum punya standar pelayanan medis, yang bisa memberikan acuan standar jelas tentang mana yang malpraktik mana yang bukan, akhirnya pengadilan terpaksa menggunakan pasal KUHP. Gua rasa, secara hukum, celah inilah sebenarnya yang menimbulkan kontroversi. Tapi ini ranah hukum lah, sebagai model catwalk orang awam, gua ngga begitu ngerti. Sampai sini aja gua ngebahas dari sisi Hukum dan Medis, gua rasa kalian yang dokter dan praktisi hukum pasti jauh lebih paham soal ini.

Sekarang dari sisi komunikasi. Gua sempat ngetwit tentang dokter mogok, dan langsung disamber oleh milyaran beberapa dokter di twitter yang keberatan dengan istilah “Mogok”, mereka ngga mau menganggap ini “Mogok” tapi “Aksi Damai” [wajah palem di sini]. Sekarang gini, kalau lo sengaja ngga melakukan tugas kerja lo dengan maksud protes, itu apa namanya? Tafakur?? buat gua sih itu mogok kerja. Tafakur mah di masjid, ceu!! Kalau Taaruf di rumah kamu beb

Tapi kan ngga semua dokter, cuma dokter poli berbayar doang, UGD tetap buka kok!
Iya.. berarti yang mogok si dokter poli, tapi tetap mogok kan? kan gua ngga bilang “semua dokter”.

Yaelah, ini mah kaya dokter poli di hari minggu aja, anggep aja lagi libur.
Ya beda atuh, bedanya.. lo melakukan libur ini di hari Rabu. Lo mau, solat jumat di hari selasa?

Demo sehari ngga bakal ngaruh kok, pasien ga akan dirugikan.
Siapa bilang? coba baca berita tentang banyaknya pasien yang terlantar di banyak kota hari ini:
http://www.merdeka.com/peristiwa/dokter-di-medan-mogok-banyak-pasien-terlantar.html
http://id.berita.yahoo.com/dokter-mogok-pasien-di-banyuwangi-terlantar-032045418.html
http://jogja.tribunnews.com/2013/11/27/dokter-rs-tenriawaru-mogok-pasien-keguguran-terlantar

Aksi ini kan demi solidaritas!
Ngerti, cuma apa ngga ada cara lain selain mogok? kalo cuma untuk solidaritas kan bisa dengan ramai-ramai praktek pake baju hitam kek, bendera setengah tiang di RS kek, atau apalah gitu asal jangan mogok. Oke.. iya deh.. bukan mogok.. Tafakur.

Kenapa gua bersikeras untuk nyari cara lain selain demo? karena menurut gua logikanya aneh. Gini.. lo sebel sama MA, ga terima sama perlakuan dia ke dr Ayu, tapi lo “menghukumnya” dengan mogok praktek. Nah.. ngaruh ga buat MA? ya nggak. yang dapet imbasnya siapa? ya Pasien yang mau berobat. Yang tadinya berharap perhatian dan simpati masyarakat, malah dianggap ngga bertanggung jawab karena seenaknya nggak melayani pasien. Jadi sayang aja gitu, udah capek-capek.. eh messagenya ngga sampai juga, malah dapet persepsi negatif.

Dan yang lebih disayangkan lagi, dokter terpaksa harus menanggung persepsi publik yang menganggap dokter ini seolah-olah arogan. Kenapa arogan? karena demo mogok praktek itu secara psikologis memberikan kesan.. “liat nih, gua ngga praktek, panik kan lo? bayangin kalau semua dokter mogok!!“. Ada juga teriakan yang bilang.. “Tolak kriminalisasi dokter!!”, ya ngga bisa gitu dong, kan pada dasarnya, yang dikriminalisasi itu perbuatannya, bukan profesinya. Jadi apapun profesinya, siapapun dia, bisa saja dikriminalisasikan perbuatannya, kalau memang terbukti ada indikasi bersalah. Kalau ngga boleh mengkriminalisasikan dokter, nanti malah mengakibatkan timbulnya semacam pengkultusan profesi di sini, karena memang harus diakui ‘power’ dokter di tengah masyarakat itu besar sekali. Jadi timbul kesan, seolah-olah.. “Gua nih dokter, masa gua yang salah?“.

Kesimpulannya.. buat gua, silahkan para dokter membela rekan sejawatnya, perjuangkanlah hal yang kalian anggap keadilan, ini negara demokrasi kok. Lagipula hakim juga manusia, bisa salah ambil kebijakan. Namun yang perlu diingat, lebih pintarlah memilih cara untuk mencapai tujuan tersebut, supaya yang tadinya berharap A eh malah yang didapat malah B, kan sayang, jadi sia-sia. Semoga segera ada standar pelayanan medis di Indonesia, sehingga penegak hukum jauh lebih jelas dalam mengambil keputusan, untuk menentukan mana yang Malpraktik mana yang Mal kelapa gading resiko.

 

96 thoughts on “Dokter Bertafakur: Ini Bukan Aksi Religius.

  1. kedjora

    good point, fair enough, like this 🙂

    tp tetep ada beberapa hal yg harus saya kasi komen, karena kalo ngga bakalan jadi jerawat:
    1. aksi mogok (saya tetep mengakui itu mogok) kemarin adalah puncak setelah beberapa aksi persuasif sebelumnya tidak ditanggapi dg baik. pengajuan PK pun sudah berbulan2 yg lalu ga ada kejelasannya
    2. kadang petinggi hukum di negara itu perlu diteriakin rame2 baru mereka mau denger, seperti kasus prita dulu, setelah blow up di media baru deh putusannya bebas.
    3. kalo buat saya pribadi selain menuntut keadilan utk dr ayu cs, itu juga sbg jaminan perlindungan bekerja. malpraktek emang bisa dihukum, tapi risiko atau efek samping dari pengobatan atau tindakan tidak bisa disalahkan ke dokternya. besok2 kalo saya ngasi obat ternyata pasiennya alergi berat, padahal tidak ada riwayat sebelumnya, saya bisa dituntut dong..kalo gitu saya ga mau lagi dah jadi dokter, sana aja lu ke tong fang, dijamin 100% herbal tanpa efek samping, garansi uang kembali.
    4. SOP emang berlaku untuk masing2 rumah sakit, ga bisa diseragamin karena perbedaan fasilitas dan sumber daya di masing2 rs. misal nih rumah sakit di jakarta, persalinan dengan bayi letak lintang harus dengan sectio cesarea oleh dr spesialis kandungan, tapi di daerah terpencil bidan akan melakukan versi luar untuk mengubah posisi bayi menjadi presentasi kepala, kalo ga bia juga dioperasi tapi sama dokter umum. risiko komplikasi dan kematian jelas lebih tinggi, tapi di sana dia ga bisa dipersalahkan karena SOPnya memang seperti itu sesuai fasilitas di tempatnya.
    5. masalah komunikasi…kalo di rs atau praktek swasta biasanya dokternya lebih mau berpanjang lebar menjelaskan…bukan karena bayarannya lebih gede, tapi karena pasiennya lebih sedikit jadi waktunya lebih banyak. sementara di rs negeri dan puskesmas pasiennya banyak banget dan kebanyakan dijelasin juga ga ngerti2. saya pernah kerja di salah satu puskesmas di jakarta, pasiennya tiap hari rata2 60-100 orang. dg waktu pelayanan 6 jam berarti rata2 per jam 10-16 pasien = 4-6′ per pasien. bagaimana mau menganamnesa dg detail, meriksa dg teliti, bikn catatan medis yg lengkap, bikin resep dan menjelaskan satu persatu diagnosa, obat, anjuran, rencana selanjutnya dll dengan waktu sesingkat itu. padahal pengalaman saya di australi kalo ke dokter bisa 30-60′ di ruang periksa dokter sampe puas nanya apa aja. saya pernah minta pembatasan jumlah pasien untuk menjaga kualitas pelayanan tapi katanya ga boleh..akhirnya saya resign karena merasa jadi dokter puskesmas hanya membodohi diri saya sendiri dan juga pasiennya
    6. kemarin pasien merasa ditelantarkan…another ‘lebay’ news…ugd di seluruh rumah sakit tetep buka, dokter jaga tetep ada..kalo ada berita rumah sakit lumpuh total atau pasien terlantar, coba deh kroscek lg yg bener..media kan demen banget cari sensasi. salah satunya yang berjudul…. tak ada dokter, pasien melahirkan di WC Puskesmas (di NTT)…… setelah saya konfirmasi dengan dokter di sana, ternyata di NTT, semua persalinan harus di puskesmas, bahkan diantar dan dijemput oleh ambulance. yang menangani persalinan normal memang bidan, bukan dokter, dimana disetiap puskesmas dibuat jadwal jaga bidan. baru ketika persalinannya bermasalah, bidan konsultasi dengan dokter. jadi memang berita diatas TIDAK ADA hubungannya dengan demo dokter…trus gemes lagi ama repoter TV *** yg meliput di rs tempat saya bekerja. masa diberitain hari itu ga ada dokter yg visite, padahal waktu dia wawancara sama kepala ugd, ada beberapa dokter spesialis yg lg monadr mandir visite pasien…matanya kemana mbaak…Sorry, saya rada emosi emang ama media..
    buat yg pengen ke poli tp dokternya ga ada…kan di media udah rame diberitain kalo tgl 27 dokter mau mogok, kenapa nekat dateng juga…kalo mendesak ada ugd, kalo ga mendesak please come another day…we’re really sorry for this inconvenience.

    kami minta maaf kepada semua pihak yg merasa dirugikan atas demo kemarin, pengguna jalan yg kena macet, pasien2 yg terpaksa pulang lagi…kami hanya sekelompok manusia yang terluka…kami bukan ingin terbebas dari hukum, hanya berusaha menyuarakan kebenaran dan keadilan…terima kasih utk yang sudah percaya pada kami, semoga kami bbisa berbenah diri menjadi lebih baik

    Like

    Reply
    1. orangaring

      sayangnya banyak dari masyarakat kita, bahkan yang mengaku mahasiswa (yg katanya generasi tercerahkan) masih saja percaya dan menelan bulat2 berita2 dari TV dan media berita online. tidak pernah menganalisis dan menghimpun info2 dari banyak sumber yg sekiranya lebih valid serta melihat permasalahan secara objektif. mau jadi apa masa depan mahasiswa indonesia kalo gini..? sedih..

      Like

      Reply
  2. dip

    Setuju sama tulisannya, setuju sama segala komennya. Yg blm banyak diketahui masyarakat bahkan sejawat dokter lain adlh jalur hukum SUDAH ditempuh berupa pengajuan PK, jalur politis melalui menkes bicara dg hakim agung dan jaksa agung, dsb. Dan jalur tsb buntu. Bukannya berhenti sejenak dan mendengarkan knp IDI dan POGI keberatan dg putusan MA, hanya selang sehari stlh menkes mencoba bicara dg pak hakim dan jaksa, dr. hendry ditangkap spt menangkap penjahat kelas kakap, ditodong senjata, diborgol, tdk boleh kontak keluarga dan bahkan tdk diijinkan menjenguk ibunya yg sdg sakaratul maut. Di titik inilah kami merasa orang2 hukum sudah kelewatan thd kami. Akhirnya dgn berat hati, siap dg sikap caci maki dan sinisme masyarakat thd aksi keprihatinan dokter (saya juga sebut mogok kok:)), dg menimbang kerugian kecil sebagian masyarakat yg sakit ringan yg tdk dpt berobat hari itu (yg sakit berat kan teman dokter standby di UGD), terpaksa kami jalankan aksi mogok kami. Semoga suatu saat nanti masyarakat paham aksi kami kmrn demi masyarakat juga, krn kami tdk ingin sampai harus menerapkan defensive medicine saat kami melayani masyarakat gara2 kasus ini.

    Like

    Reply
  3. Luky

    Lucu dan mengena tulisannya mas acho ini.. Tp sbg org awam gw sih berpendapat dokter2 ini tampaknya udh hopeless bingung mau gimn lg menjelaskan bhw dr ayu dkk itu tdk bersalah (yg kyknya sih beneran gak salah, klo salah ya masa iya dokter2 ampe hebohh begini) . Cuma bener kata mas acho, proses hukum sehrsnya jg dibantah dg proses hukum bukan dg aksi tafakur td.. Jdnya malah salah sasaran.. Coba aja dibantah melalui proses hukum lanjutannya dan meng hire lawyer yg handal.. Abis itu bikin tulisan yg menjelaskan ke masy bhw dr ayu dkk sdh bertindak tepat.. Jd kita yg awam akan dunia kedokteran jg bs tau (ooohh begituu toh sebabnyaa..)

    Trimsii

    Like

    Reply
  4. yuni

    good coment aq jg pernah ngerasain ketidak cermatan dokter terhadap pasiennya… alhamdullilah kami (aku dan anakku) sampai hr ini sehat walafiat

    Like

    Reply
  5. tom

    akhirnyaaa…ketemu juga yg sepemikiran
    gua dokter, salah satu yg tidak setuju dgn aksi mogok, yg bagi gw seperti membunuh tikus dengan membakar rumah.
    lucu, dan kreatif, bro. slam kenal

    Like

    Reply
  6. genki

    ya benar, memang suatu pilihan ketika menangani hal sulit untuk menyelamatkan nyawa seseorang yg sedang kritis atau sedang sehat tiba2 lgsg kritis, hanya berdoa yg khusu’ agar pasien yang ditangani bisa sembuh,bisa kembali kepada keluarganya tanpa kekurangan apapun dan menangani kembali pasien yang lainnya..senantiasa berdoa dengan dokter lainnya ketika menjalani operasi, takdir yang akan berbicara,tp profesionalisme bekerja harus diutamakan dan komite etik yang beranggotakan dokter spesialis, professor, dan tim kesehatan lainnya akan menilai dan menyerahkannya kembali kepada hukum yang berlaku ketika setiap ada kasus seperti ini.

    Like

    Reply
  7. pipit

    Kesan yang bisa gua ambil sebagai orang awam setelah membaca blog dan semua komen diatas: pasal 1: Dokter selalu benar. Pasal 2. Kalo Dokter salah, coba lihat pasal 1.

    Like

    Reply
  8. Lilik LH

    setuju banget bang…kayaknya emg hrs lbh membuka wawasan lagi, kembali ke tujuan awal niat untuk menjadi dokter itu apa, kalo niatx mencari materi ya gak bisa omong, itulah hasilx, mogok berjamaah..hehe, perlu belajar k negeri sebrang yg skrg d landa krisis politik…yaitu mesir, kmrn q sempat baca, ada dokter disanan yang menanyakan, kenapa dokter d indo meninggalkan pasien, padahal d negeri kami jika da pasien datang kami berebut untuk membantunya, karena itu adalah bagian dari IBADAH. bahkan hanya dg SMS saja kami pasti datang jika ada yg membutuhkan pertolongan, hmmm…para dokter yang budiman…luruskan lagi niat awal dan tujuan anda2 menjadi dokter…:)

    Like

    Reply
  9. srikandi

    Menurut saya ada dua hal yg bs dilakukan oleh pemerintah sebagai pemangku wewenang terhadap masalah ini:

    1. Segera buka ijin bagi dokter asing untuk praktek di RI. Rakyat harus diberikan pilihan, semua dokter Indonesia boleh mogok silakan, tapi yg mau berobat ke dokter harus difasilitasi, nggak boleh disandera. Sudah banyak yg memilih berobat ke luar negeri, itu bukan tanpa alasan, kita sama sama tahulah. Dan biasanya kalau dikasih kompetisi, pelayanan dan kualitas akan meningkat, itu sudah hukum yg jamak. Dokter2 nggak takut kompetisi kan? :))

    2. Pada saat yg bersamaan, harus dilakukan “system overhaul” dari para stakeholders. Pembenahan harus dimulai dr rekruitmen mahasiswa kedokteran, isi pembelajaran, manajemen rumah sakit, prosedur pelayanan, dsb. Masak iya prosedur kedaruratan nggak bisa di jadikan brosur yg bisa dibaca keluarga pasien ketika mau operasi?

    3. Kritik dr masy bukan berarti nggak sayang dokter, mungkin selama ini sudah terakumulasi berbagai kekecewaan dalam hal lain. Hendaknya introspeksi.

    Like

    Reply
  10. LoL

    kalo menurut saya sih dari sekian banyak dokter yang saya temui kurang mamiliki pemahaman tentang isi hati pasien. bukannya ngomporin ya, saya hanya bercerita tentang pengalaman saya dan itu memang bukan semua dokter seperti itu, ,
    jadi ketika saya berobat sikap dokter yang saya temui hanya bertanya keluhan, jika ditanya baru sang dokter itu menjawab, apalagi gak ditanya, boro boro deh.
    dan ada lagi nih ketika papa saya di rawat, sang dokter itu acuh tak acuh, gimana gak acuh dia hanya datang ketika di panggil dan ketika hanya ada yg disampaikan dan itu jg buru2 tanpa ada basabasi
    okelah sibuk, tapi ya setidaknya mengerti dikit donk sama hati pasien

    bukanya memprovokasi, hanya curcol aja

    Like

    Reply
  11. komentator

    Untuk sodari Lilik LH: tujuan org menjadi dokter ga boleh cari materi, trus siapa yang mau kasih makan anak istri dan keluarganya?? Kalo menurut saya, sah2 saja dokter bekerja mencari materi, disamping menolong sesama. Sebelum berkomentar, MBOK YA DIPIKIR DULU, keliatan asbun-nya kan?! Lagian ini artikel udah BASI, sudah banyak tanggapan dari berbagai pihak ttg aksi mogok dokter yg kmrn, apa maksud dan tujuan mereka!! Coba ANDA2 baca artikel ini sebelum berkomentar asbun, nanti malah keliatan bodohnya kayak F*rhat calon presiden pocong!! http://m.kompasiana.com/post/read/615443/2

    Untuk sodara srikandi: apakah anda pernah tinggal di luar negeri dan tau gaji dokter2 di luar negeri?? Saya bertahun2 tinggal di US dan ini ada artikel sekedar penambah wawasan buat Anda yg pengen mendatangkan dokter dari luar negeri. http://healthland.time.com/2012/04/27/doctors-salaries-who-earns-the-most-and-the-least/
    Gaji dokter umum or general practitioner disini adalah yg terendah dan itu berada di kisaran $158,000 (kurang lebih 1.6 Milyar) pertahun. Dan untuk gaji tertinggi, radiologist & orthopedic surgeon, berada di kisaran $315,000 (kurang lebih 3.2 Milyar) per tahun! Coba anda PIKIR!! Rumah sakit mana yang mampu menggaji dokter2 luar jika mereka menuntut gaji segitu besar?! Apakan dokter2 luar mau menerima Jamkesmas yg notabene 3000-5000 per pasien?? Atau maukah dokter2 tsb dikirim ke pelosok2 dg gaji pisang, ayam atau bahkan mungkin tidak memungut bayaran?! MIMPI!!! Sebelum anda berkomentar, tolong pikir dulu, nambah pengetahuan dulu, daripada sudah komentar, asbun, kan keliatan bodohnya. APA GA MALU??????????????????????

    Like

    Reply
  12. Pingback: Catatan: Dr. Ayu dan Kriminalisasi Dokter | VICZHOEL

  13. rinyun92

    keren bang tulisan bang acho pasti sll lucu tp ttp ngena, satu fikiran kta bang…. tpi tulisan yg d garisin itu maksudnye apeye…. 😀

    Like

    Reply

Leave a comment